Hari toleransi diperingati untuk
menyerukan kepada seluruh warga dunia mengenai pentingnya meningkatkan
toleransi dan mengakui, menghormati, serta membiarkan segala bentuk
perbedaan yang ada. Untuk Indonesia peringatan hari toleransi menjadi
penting karena dari tahun ketahun, ancaman terhadap kebebasan beragama
di negeri ini tak juga kunjung surut, bahkan ada indikasi ancaman
terhadap kebebasan beragama itu terus bertambah jika tidak ingin
dikatakan kian merajalela.
Sampai akhir Oktober 2011, berdasarkan
laporan Forum Komunikasi Kristen Indonesia (FKKI), telah terjadi
penutupan dan ancaman terhadap 34 Gereja di negeri ini. Dalam tahun 2011
tercatat 47 Gereja mengalami gangguan di tanah air ini. Menjelang
perayaan Natal, Gereja-gereja yang mengalami gangguan pada tahun ini
bisa lebih banyak lagi. Artinya, ancaman terhadap kebebasan beragama
pada tahun ini bisa jadi akan lebih hebat dibandingkan tahun -tahun
sebelumnya.
Pemerintah, sebagai pemegang mandat
konstitusi bertanggung jawab langsung untuk menegakkan konstitusi.
Pemerintah harus aktif memproteksi hak kebebasan beragama setiap warga
negara yang memeluk agama apapun. Karena pluralitas agama adalah
realitas yang diakui oleh konstitusi di negeri ini. Dan toleransi
memiliki peran penting dalam merawat keberagaman agama-agama yang ada di
negeri ini.
Pada Konsultasi Teologi Nasional
Persekutuan gereja-gereja di Indonesia (31 oktober- 4 November 2011) di
Cipayung dengan tema, “Berjuang Mewujudkan Perdamaian dan Keadilan”
disimpulkan bahwa larangan beribadah dan penutupan rumah ibadah secara
paksa oleh kelompok garis keras semakin banyak terjadi. Itu
membuktikan, kelompok-kelompok garis keras masih menolak keberagaman
agama-agama.
Pertemuan tersebut juga menegaskan,
“sebagian besar orang memang mengakui keberagaman dan perbedaan, namun
dilihat dengan sikap curiga dan merasa terancam, sehingga tidak terjadi
pergaulan yang saling memperkaya.” Meningkatnya intoleransi agama
sebagaimana dilansir dalam pertemuan tersebut diteguhkan dengan maraknya
cluster-cluster yang membelah masyarakat berdasarkan agama.
Cluster-cluster masyarakat berdasarkan agama di negeri ini terus
menguat, dan parahnya usaha integrasi antar kelompok itu justru makin
melemah. Maraknya parta-partai berdasarkan agama pada era reformasi bisa
jadi memiliki andil dalam hal tersebut.
Hubungan antar agama di negeri ini bisa
dikatakan sedang bergerak mundur dari hubungan yang bersifat saling
memperkaya, creative proexistence, ke level yang lebih rendah yakni
hubungan yang sekadar tidak saling mengganggu (live and let die).
Masyarakat Indonesia yang mulanya hidup saling memerhatikan dan saling
memercayai bergerak mundur menjadi hubungan yang penuh kecurigaan, dan
perasaan terancam.
Padahal, awalnya Indonesia terkenal
dengan pluralismenya dan semangat interdepedensi agama yang tinggi.
Indonesia terkenal sebagai surganya agama-agama. Karena di Indonesia
agama-agama mendapatkan tempat persemaiannya yang subur. Itulah
sebabnya agama-agama besar yang berasal dari luar negeri ini, seperti
Islam, Kristen, Hindu, Budha serta Kong Fu Tsu dapat bertumbuh subur.
Bahkan agama-agama itu kemudian bercampur menjadi aliran-aliran
kebatinan yang hingga kini tetap eksis di negeri ini.
Pancasila dengan semangat Bhineka
Tunggal Ika Nya menjadi payung semua agama-agama yang berbeda dan
beragam, dan agama-agama yang berbeda dan beragam itu diterima sebagai
kekayaan bukan sebagai ancaman. Sikap curiga antaragama bukanlah warisan
leluhur bangsa ini. Bisa dipastikan, makin tergerusnya nilai-nilai
ke-Indonesiaan sebagaimana tertuang dalam Pancasila adalah penyebab
utama raibnya rasa saling percaya antarwarga bangsa di negeri ini.
Butuh Konsistensi pemerintah
Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisiten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.
Intoleransi agama yang berujung pada diskriminasi dan kekerasan agama sesungguhnya melanggar konstitusi negeri ini yang mengatur hak setiap warga negara untuk beribadah. Pemerintah sebagai penerima mandat konstitusi tidak boleh membiarkan penyerangan terhadap kebebasan beragama terjadi di negeri ini. Sebaliknya pemerintah harus konsisiten mendorong kehidupan yang saling menghargai antarwarga bangsa yang berbeda dan beragam agama.
Tidak tuntasnya penyelesaian kasus
penutupan, penyegelan, sampai pada perusakan dan pembakaran rumah
ibadah yang terjadi di negeri ini telah menjadi preseden buruk bagi
penegakan HAM di Indonesia. Pembiaran terhadap kasus tersebut telah
melahirkan banyak kasus di berbagai daerah di Indonesia. Akibatnya,
ancaman terhadap kebebasan beragama terus berlangsung di negeri ini.
Pluralitas agama masih di tolak oleh banyak orang di negeri karena
minimnya konsisitensi pemerintah dalam menangani kasus-kasus bernuansa
agama.
Lemahnya konsisitensi pemerintah dalam
memberikan proteksi kebebasan beribadah terlihat jelas pada kasus
penutupan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Sejak 2008, umat
GKI Yasmin berjuang untuk mendapatkan hak mereka yang dilindungi oleh
konstitusi, bahkan perjuangan itu mendapatkan dukungan umat berbagai
agama yang pro-pluralisme, namun IMB yang telah mereka dapatkan secara
sepihak dibekukan oleh Pemerintah Kota Bogor. Meski telah memenangi
gugatan di PTUN Bandung, bahkan telah dikuatkan oleh putusan Mahkamah
Agung (MA), Wali kota Bogor Diani Budiarto bergeming dengan sikapnya,
yakni tetap membekukan IMB GKI Yasmin, bahkan melarang umat beribadah di
lokasi tersebut.
Herannya, pemerintah pusat tetap tak
bereaksi. Padahal, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengakui bahwa
peristiwa itu akan menciptakan instabilitas Kota Bogor setelah beberapa
partai politik mencabut dukungannya kepada Diani Budiarto. Pencabutan
dukungan terhada[p Diani bukan hanya dilakukan oleh PDI-P, tetapi juga
Golkar, dan bukan mustahil partai-partai lain.
Kegagalan pemerintah dalam merawat
toleransi di negeri ini tercermin pada tindakan sejumlah orang yang
pada peringatan hari toleransi tahun ini mengirimi Presiden SBY sebanyak
2011 kartu pos yang dibubuhi tanda tangan masyarakat, berisi dorongan
kepada pemerintah untuk bersikap tegas pada kelompok-kelompok intoleran
yang kerap melakukan penyerangan terhadap kebebasan beragama di negeri
ini. Maraknya intoleransi agama di negeri ini jelas merupakan tanggung
jawab pemerintah.
Pemerintah tidak boleh membiarkan
kekerasan agama terus terjadi. Sikap tegas pemerintah terhadap
kelompok-kelompok intoleran yang gemar melakukan kekerasan tentu saja
akan mendapat dukungan mayoritas rakyat di negeri ini. Sikap tegas
pemerintah dalam berpegang pada konstitusi akan berbuah manis, yakni
bertumbuhnya semangat toleransi yang merupakan nilai-nilai bermutu
bangsa ini, sehingga keberagaman agama-agama dapat diterima sebagai
sebuah kekayaan, bukan ancaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar